Kamis, 14 Januari 2013
Kantor Kecamatan Sobang.
Kantor Kecamatan Sobang.
Pagi itu hujan. Gerimis lebih tepatnya. Tiga bus dan satu minibus berwarna biru bersusah payah untuk parkir di depan kantor kecamatan Sobang. Susah karena jalan yang tidak terlalu lebar. Hanya sepelemparan batu antara sisi satu dengan sisi lainnya. Susah karena jalan ini bukan aspal yang tak bergeming dihantam tetesan hujan. Jalan ini tanah. Menjerembabkan banyak langkah yang tak biasa menjejak.
Di salah satu bus yang sedang bersusah payah memposisikan tubuh besarnya, gw duduk bersandar di kursi. Menyangga kepala pada salah satu jendela kaca. Mengerjap ngerjapkan mata. Mengumpulkan nyawa. Mengusir jauh jauh dingin akibat perpaduan AC dan hujan yang membungkus. Menggerak gerakan badan sekenanya. Kembali bersandar sambil menghitung hitung posisi di mana gw berada sekarang.
Di sebelah kanan dan kiri gw terdapat dua buah bangunan. Satu persamaannya. Sama sama memiliki tiang bendera. Tapi bangunan sebelah kanan bertuliskan SD Negeri 1 Sobang, bangunan yang kanan bertuliskan kantor Kecamatan Sobang.
Iya. Kita telah sampai. Di titik di mana setelah ini, masing masing dari kita akan berjuang di tempat masing masing.
Kawan, mari gw ajak untuk membayangkan di mana letak kecamatan Sobang.
Kecamatan ini masih berada di pulau yang konon menjadi pulau paling padat di Indonesia, Pulau Jawa. Tau provinsi yang paling baru terbentuk di pulau ini? Yap. Kecamatan ini berada di Provinsi Banten. Provinsi di sebelah barat Provinsi Jawa Barat. Layaknya provinsi yang banyak terdiri dari kota dan kabupaten, begitu juga dengan Banten. Salah satu kabupaten yang ada di Banten adalah Kabupaten Pandeglang. Kalau kita pernah belajar bahwa kabupaten/kota terdiri dari kecamatan-kecamatan, Sobang salah satu kecamatan yang ada di kabupaten pandeglang. Dan di sinilah kami berada sekarang.
Tapi kehidupan tidak hanya berhenti sampai di Kecamatan Sobang kawan. Tiap kecamatan bisa terdiri dari desa-desa. Dan, di Desa Cipeuti, salah satu desa yang berada di Kecamatan Sobang, gw bersama 14 orang lainnya berjuang untuk menghidupi kehidupan.
Sungguh kawan, di desa itu ada kehidupan. Sayangnya, dalam kehidupan yang sederhana itu, tidak banyak yang tau bawa mereka memiliki kehidupan yang lebih besar dibandingkan hanya besarnya jarak antara Cipeuti-Sobang. Sama seperti di kemudian hari, gw mengetahui bahwa anak anak gw tidak mengetahui bahwa dirinya tinggal di Provinsi Banten, di Pulau Jawa, yang menjadi bagian dari gugusan pulau di Indonesia.
Posisi gw masih sama. Duduk bersandar di kursi. Menyangga kepala pada salah satu jendela kaca. Hujan menderas. Satu dua warna warni bermunculan di tengah hantaman hujan. Bukan. Bukan pelangi. Warna warna ini tidak melengkung membentuk setengah lingkaran. Warna warna ini bergerak beriringan bak semut yang sedang berjalan.
Itu warna payung, warna seragam, dan warna sepatu boots anak-anak SD yang beriringan menuju sekolah. Bangunan di bagian kiri posisi gw. Payungnya sungguh besar kawan. Jangan bayangkan payung mereka adalah payung payung lipat macam kita yang bisa masuk ke dalam tas. Di sini tidak tren payung macam itu. Sepatu? Aah, di sini juga tidak tren sepatu crocs. Sepatu crocs yang menjadi primadona di musim hujan karena gampang dicuci kalau kotor masih kalah pamor dengan sepatu boots di sini. Aah, di sini boots lebih menjanjikan kawan. Selain mudah dicuci, bonus tidak akan kena kotor sampai betis. Satu dua dari mereka begitu repot sekali. Satu tangan memegang payung, tangan lainnya menjinjing sepatu yang dibungkus plastik. Sepatu non boots yang akan mereka kenakan sesampainya di sekolah.
Gw memperbaiki posisi duduk. Sambutan ini sungguh menyenangkan. Di kemudian hari, pemandangan ini akan begitu familiar buat gw. Tentang budaya tidak peduli. Tidak peduli hujan menderas dalam intensitas yang besar. Tidak peduli harus membawa dua sepatu. Tidak peduli dengan medan yang tidak benar-benar bersahabat untuk menjejak. Yang penting, kaki ini harus menjejak ke sekolah. Dan di kemudian hari, gw mengetahui. Ini tentang kekuatan habituasi.
Gw nyengir. Halo Tuti. Malukah kau untuk banyak menggunakan jatah bolos kuliah hanya karena alasan-alasan... badannya lagi ngedrop?
Satu satu iring-iringan warna warni itu memasuki gerbang sekolah. Payung-payung yang mengembang itu seketika menutup. Berganti dengan jejeran payung besar yang menggantung di jendela dan pintu kelas. Berbanding terbalik dengan ada yang antusiasme yang ada di dalam bis-bis berwarna biru yang terparkir di depannya.
Antusisme ini mengembang. Sempurna meluap. Segala kebahagiaan, keriangan, kecemasan, dan kekhawatiran mendobrak masuk. Mendesak tak tertahankan. Bahkan luapan air hujan yang membanjiri kantor kecamatan di malam harinya, tidak benar-benar sanggup membendung antusiasme ini.
Gw memperbaiki posisi duduk. Sambutan ini sungguh menyenangkan. Di kemudian hari, pemandangan ini akan begitu familiar buat gw. Tentang budaya tidak peduli. Tidak peduli hujan menderas dalam intensitas yang besar. Tidak peduli harus membawa dua sepatu. Tidak peduli dengan medan yang tidak benar-benar bersahabat untuk menjejak. Yang penting, kaki ini harus menjejak ke sekolah. Dan di kemudian hari, gw mengetahui. Ini tentang kekuatan habituasi.
Gw nyengir. Halo Tuti. Malukah kau untuk banyak menggunakan jatah bolos kuliah hanya karena alasan-alasan... badannya lagi ngedrop?
Satu satu iring-iringan warna warni itu memasuki gerbang sekolah. Payung-payung yang mengembang itu seketika menutup. Berganti dengan jejeran payung besar yang menggantung di jendela dan pintu kelas. Berbanding terbalik dengan ada yang antusiasme yang ada di dalam bis-bis berwarna biru yang terparkir di depannya.
Antusisme ini mengembang. Sempurna meluap. Segala kebahagiaan, keriangan, kecemasan, dan kekhawatiran mendobrak masuk. Mendesak tak tertahankan. Bahkan luapan air hujan yang membanjiri kantor kecamatan di malam harinya, tidak benar-benar sanggup membendung antusiasme ini.
Warga : Iya neng. Ini teh baru pertama kali banjir sampai kayak gini di sini. Kebetulan pas mahasiswa lagi dateng.
dan luapan antusiasme ini, dimulai...
0 komentar:
Posting Komentar