Karenanya, tak pernah jelas apa yang sejatinya terlihat.
Yang tampak, sungguh tak menjadi.
Yang timbul, tak urung menepi.
Semua kebas.
Meretas.
Tak satupun mewujud di spektrum tak berwarna.
Jengah.
Begah.
Untuk kehadiran banyak malaikat.
Untuk ketidakhadiran konsistensi.
Tak ada yang benar-benar paham tentang semua pengertian.
Sibuk masing-masing.
Menjadi.
Membangun.
Saya yang tak pernah mengerti.
Kegilaan ini tak urung berganti.
Menjadi baik bukan untuk dituruti.
Malaikat bukan untuk dijunjung tinggi.
Tentang ukuran yang tak memberi arti.
Saya jengah.
Regah.
Andai bisa.
Lebih memilih untuk tidak memilih.
Senyuman itu palsu.
Saya tau.
Persona kemunafikan atas tangis yang tak kunjung pecah.
Sibak topengmu!
Ah, saya tau.
Tentang menipu yang jauh lebih indah dari membiru.
Palsu.
Tak peduli.
Katakan saja,
Bahwa menjadi itu satu.
Berbagi itu ngilu.
Apa iya harus selalu terpejam untuk berita yang tak pernah diminta.
Jengah.
Regah.
Sesak ini bak ditinggikan dan dijatuhkan kemudian.
Wajar?
Tentu saja tidak.
Tak pernah ada kemarahan untuk bunga yang jatuh di musim gugur.
Membuka mata.
Menantang.
Sesak.
Lalu kemudian,
kacamata saya patah.
Rabu, 19 Desember 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar